Minggu, 01 Mei 2011

Sahabat atau Pacar?

“Amoura! Tunggu!” kuhentikan langkah saat kudengar suara Khania memanggilku.
Aku yang masih terisak memberanikan diri menatap mata Khania, ia tampak khawatir denganku. Segera kupeluk erat-erat tubuh mungil sahabat baikku.
                “Kamu kenapa Moura?” tanya Khania sambil melepas pelukanku.
                “Nia… gue sama Ben putus…” jawabku kembali terisak.
                “apa? Putus? Bukannya kemaren Ben bilang mau pertahanin hubungan kalian sampe tua?” Khania tampak bingung.
                “iya, tapi nggak tau kenapa barusan dia mutusin gue…” aku mencoba menjelaskan.
                “emang kalian ada masalah apa?” tanya Khania lagi.
                “seinget gue nggak ada… Nia… gue harus gimana?” aku balik tanya.
                “hei… ada apa ini?” tanya Dion yang tiba-tiba muncul di hadapanku.
                “ini, Moura…” belum sempat Khania menyelesaikan perkataannya, Dion memotong.
                “loe ribut lagi sama Ben. Iya kan?” desak Dion.
Aku hanya mengangguk lemah sambil terisak. Kulihat Khania mencubit lengan Dion, mungkin karna Dion yang terlalu blak-blakan.
                “maunya apa sih tuh anak? Baru minggu kemaren ngumbar janji manis ke loe, tapi sekarang apa buktinya!” kata Dion mulai geram.
                “udahlah Dion, mungkin udah nasib gue begini.” kataku sambil mencoba menguatkan diri.
                “Moura… kamu nggak boleh berkata begitu.” Khania menguatkanku sambil mengusap-usap pundakku.
                “trus sekarang loe mau pulang?” tanya Dion.
                “iya, gue mau pulang.” Jawabku.
                “gue anterin loe…” tambah Dion.
                “tapi… Nia?” tanyaku.
                “aku dijemput Kak Bintang. Kamu pulang aja bareng Dion.” Jawab Khania.
                “ya udah Ni, kita duluan ya…” pamitku.
Aku dan Dion berjalan beriringan ke lapangan parkir. Sesampainya di lapangan parkir, Dion menyalakan motor kesayangannya dan memberiku sebuah helm. Tanpa diberi komando, aku segera naik dan memakai helm itu. Seperti biasa, sahabatku yang satu ini selalu memacu motornya dengan kencang. Sesampainya di rumah, aku segera berganti pakaian dan merebahkan diri. Pikiranku kembali melayang ke kejadian beberapa jam lalu,
                “Sorry Moura, kita sampe sini aja… gue nggak se-perfect yang loe kira…” kata Ben saat kutemui  di belakang sekolah seusai jam pelajaran tadi.
Kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Beribu kali kucoba melupakan kata-kata Ben, namun sia-sia. Saat tengah berusaha keras melupakan kejadian itu, aku dikejutkan dengan suara ringtone “Green Day- Last Of The American Girl” segera kuambil HPku. “1 pesan baru dari Mr.X” kubuka pesan itu,
                Jangan menangis cantik, aku tak ingin melihat kau bersedih… jika kau bersedih, langitpun menangis… keep smile…

Your secret admirer.

Udah beberapa minggu ini, Mr.X selalu menghiburku lewat sms. Mulai dari kata-kata indah sampai puisi kutrima darinya. Sampai sekarang aku masih penasaran siapa sebenernya Mr.X itu. Entah kenapa, setelah membaca sms itu, aku mampu tersenyum lagi. Karna kudengar mobil papa datang, aku segera turun dan membukakan pintu untuk Beliau.
                “good afternoon pa… ma…” sapaku sambil membukakan pintu mobil.
                “good afternoon sweety…” jawab mama sambil mencium keningku.
                “gimana tadi sekolahnya Moura?” tanya mama saat kami berjalan masuk.
                “nothing special ma…” jawabku berbohong.
                “Bi. Inah mana?” tanya papa.
                “anak Bi.Inah sakit, terus tadi Bi.Inah pamit pulang ma, pa.” jawabku sambil menarik kursi dan duduk di ruang makan.
                “kamu udah makan sweety?” mama bertanya sambil membuka refrigerator.
                “udah tadi di sekolah.” Jawabku.
Setelah ngobrol-ngobrol dengan mama dan papa, aku pamit mandi dan belajar. Kututup buku paket Kimiaku saat kulihat jam dinding menunjukkan pukul 19.30. “ah… udah waktunya makan malem…”gumamku. dan benar saja, kudengar suara mama dari balik pintu kamar. Segera saja aku turun dan bergabung dengan mama dan papa untuk makan malam.
                “wah, nasi goreng udang…” kataku sedikit memekik karna girang.
                “ini bikinan mama sendiri lho… Ra.” kata papa.
                “oh ya? Pasti enak…” kataku sambil menarik kursi dan duduk dengan tergesa.
Tak membutuhkan waktu lama, nasi goreng di piringku telah ludes. Setelah semuanya selesai makan, aku membereskan meja makan dan mencuci piring, sedangkan mama dan papa berbincang-bincang di meja makan. Setelah selesai, aku berpamitan pada mama dan papa untuk tidur.
Kucoba memejamkan mataku walau sangat sulit, sampai detik ini, aku masih teringat kata-kata Ben. Baru kali ini aku tak bisa tidur karna putus dari cowok. Kubolak-balikkan badanku di atas tempat tidur. Dan saat waktu menunjukkan pukul 23.00 aku berhasil menutup mataku rapat-rapat.
                Dering alarm di HP membangunkanku. Jam 05.00, aku bergegas bangun dan turun mencari mama.
                “ma…” panggilku.
                “mama…” aku memanggil mama lagi, namun tak ada jawaban.
Aku mencari mama ke dapur, tak kutemukan mama di sana. Ke taman belakang, tak ada. Ke kamar mama, apalagi. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon mama.
                “Halo…”
                “halo, mama di mana sih?”
                “Moura… mama dan papa berangkat ke Ausie hari ini, kamu ingat kan, hari ini tanggal berapa?”
                “oh iya… astaga! Kenapa aku lupa? Ya udah, hati-hati ya ma…”
                “iya. Kamu juga hati-hati di rumah, Sweety…”
                “oke. morning ma…”
                “morning…”
“tuuut…tuuut…tuuut…” telpon terputus. Segera aku bersiap-siap untuk sekolah, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah dengan taxi.
                “trimakasih pak…” kataku sambil keluar dari taxi.
                “sama-sama neng…” jawab pak supir.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang sekolah,
                “Moura!” terdengar suara memanggilku, suara yang tak aing lagi, Ben.
Kutarik nafas panjang tanpa menghentikan langkahku. Kudengar suara kaki mengikutiku. Dan benar saja, saat aku sampai di kelas, seseorang menarik tanganku.
                “Moura! Loe kenapa sih? Gue panggil nggak nyahut?” tanya Ben yang berdiri tepat di depanku.
                “loe tuh nggak tau malu apa? Baru kemaren loe putusin gue, sekarang loe udah berani deket-deket gue lagi. Apa loe nggak takut kehilangan fans-fans fanatik loe kalo deket-deket gue lagi?” tanyaku dengan nada agak tinggi.
                “Ra, asal loe tau ya, gue putusin loe bukan karna fans-fans fantik gue, tapi karna gue sakit. Loe tau gue sakit apa? Leokimia!” kata Ben agak keras.
                “a…apa? Le… leo… ki… kim… kimia?” tanyaku tak percaya.
                “ya, gue sakit! Sakit parah Ra… dan hidup gue tinggal 3 hari!” kata Ben berapi-api.
Tubuhku seketika lemas, nafasku terasa berat, tak terasa air mataku menetes.
                “jangan nangis Moura… ini semua udah kehendak Tuhan…” kata Ben sambil mengusap air mataku.
                “heh! Ben! Loe ngapain Moura?” tanya Dion yang tiba-tiba muncul.
                “gue nggak ngapa-ngapain Moura.” Jawab Ben.
                “nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin Moura nangis kalo loe nggak ngapa-ngapain dia!” Dion berteriak keras dan memukul tepat di pipi Ben.
                “udah! Stop! Dion! Ben nggak ngapa-ngapain gue!” teriakku sambil memeluk erat tubuh Ben.
Kuputuskan untuk membawa Ben ke UKS, kulihat Dion hanya menatapku bingung. Sesampainya di UKS, segera kuobati luka Ben.
                “Moura, Makasih ya… sekarang udah saatnya gue pergi, makasih banget atas semua yang loe beri. Gue minta, loe jaga diri loe baik-baik. Gue pergi…” kata Ben dengan nafas tersengal.
Kupegang tangan Ben yang lemas, terasa sangat dingin. Aku yang panik segera mengambil HP dan menelpon ambulance. Sesampainya di rumah sakit, segera kutelpon kedua orang tua Ben. 15 menit berlalu, kini aku berdiri di depan UGD bersama orang tua Ben, Khania, dan Dion. Setelah menunggu agak lama, dokter pun keluar dari UGD dengan wajah yang kecewa.
                “Dok, bagaimana keadaan putra saya?” tanya mama Ben penuh harap.
                “maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” Jawab dokter itu sambil berlalu.
Mama Ben seketika meneteskan air mata di pelukan papa Ben. Aku sendiri tak kuat membendung air mataku. Tak kusangka, tiba-tiba ada yang memelukku.
                “Moura… kamu harus sabar…” kata orang yang memelukku.
                “tapi Dion, Ben… Ben udah pergi…” kataku sambil menatap mata Dion.
                “Ra, kamu harus tabah!” Khania menggenggam tanganku.
                Satu minggu sudah aku dan teman-teman menjalani hari tanpa adanya Ben. Kurasakn banyak perubahan pada diriku, aku yang semula ceria kini murung, aku yang semula humoris kini jarang tersenyum, dan aku yang semula aktif tiba-tiba jadi pasif. Saat kuberjalan di koridor sekolah, terdengar bunyi ringtone “Green Day- Last Of The American Girl” ternyata seperti biasa “1 pesan baru dari Mr.X”,
                Siang mentariku… mengapa hingga saat ini kau masih murung? Yang berlalu baiklah kita lupakan, tataplah masa depan yang lebih cerah! Senyummu kurindukan… Tawamu kutunggu… mana senyum dan tawamu?

Your Secret Admirer.

Untuk pertama kalinya, aku tersenyum. Tiba-tiba Dion muncul di depanku dengan setangkai mawar ditangannya. Aku sangat terkejut dengan kelakuan Dion.
                “Would you be my girlfriend?” tanya Dion to the point.
                “apa?” tanyaku.
                “ya, apa kamu mau jadi cewek aku? Karna sebenernya Mr.X itu adalah cowok yang berdiri di depanmu ini” jawab Dion.
Aku tak menjawab pertanyaan itu dan bergegas pergi. Dengan sekuat tenaga aku berlari ke gerbang dan menyetop taxi. Di dalam taxi, aku menangis. Entah kenapa aku menangis. Aku sendiri tak tau mengapa aku menangis. Apa karna aku menyukai Dion? Atau karna aku belum bisa melupakan Ben? Entahlah.
Sesampainya di rumah, kulihat mobil papa terparkir di garasi. Kupencet bel rumahku, saat mama membukakan pintu, aku langsung menghambur kea rah beliau.
                “Moura? Kamu kenapa?” tanya mama bingung.
                “ma, apa yang harus Moura lakuin?” aku balik tanya.
                “memangnya ada apa? Ayo duduk dan jelaskan!” kata mama sambil mendudukkanku ke sofa.
Aku menceritakan semuanya pada mama dari Mr.X sampai Dion, selama bercerita otakku seperti memflash-back semua kejadian-kejadian yang berlalu.
                “itu semua tergantung kamu Moura, apa kamu mencintai Dion atau tidak?” tanya mama.
                “Moura nggak yakin ma, apa Moura cinta Dion atau enggak!” jawabku.
                “ya udah, kalau begitu, mama sarankan kalian bersahabat saja.” Kata mama.
Aku hanya mengangguk dan berlalu ke kamar. Sesampainya di kamar, aku merebahkan diri. Berulang kali kupikir jawaban yang akan kuberikan untuk Dion. Setelah beberapa jam berpikir akhirnya aku mendapatkan jawaban. Segera kutelpon Dion,
                “Halo?”
                “Dion… ini gue Moura…”
                “iya Ra, ada apa?”
                “gue mau kasih jawaban ke loe.”
                “iya?”
                “Dion… setelah gue pikir-pikir, lebih baik kita bersahabat. Karna gue rasa gue belum terlalu kenal loe. Dan satu hal lagi, kalau pacaran itu ada mantan pacar, tapi sahabatan nggak akan ada mantan sahabat, iya kan?”
                “kalo itu memang keputusan loe, gue hargain.”
                Setelah kejadian itu, aku, Dion, dan Khania bersahabat. Bahkan kami semua sangat akrab.
Satu hal yang dapat petik dari kejadian itu. Yaitu:
“KEJADIAN APAPUN YANG KITA LALUI, SAHABAT AKAN SELALU ADA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar